Hikmah Poligami Nabi, Fatwa Tentang Poligami
P O L I G A M I
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Pembahasan Keempat:
HIKMAH POLIGAMI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.
Para pendengki membicarakan agama ini dengan menyembunyikan berbagai fakta untuk mengaburkan Islam, dengan mencaci-maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena poligami beliau. Ini adalah kebiasaan para orientalis Yahudi dan Nashara yang mengada-adakan kedustaan dengan pernyataan mereka: “Poligami ini tidak lain hanyalah karena kekuatan seksualnya serta kecintaannya kepada syahwat, kelezatan dan kesenangan nafsu.” Ini adalah metode membalikkan fakta kepada kebathilan terhadap generasi kita, terutama kalangan yang mengklaim berbudaya Eropa dan membenarkan pemikiran-pemikiran ini, setelah mengenyam pemikiran-pemikiran mereka yang beracun. Inilah salah seorang dari mereka yang mengklaim sebagai muslim, mengatakan tentang poligami, “Jelas sekali bahwa poligami adalah penghinaan yang keras kepada wanita [1].”[2]
Kita katakan kepada mereka yang otak mereka telah dicuci dengan pemikiran misionoris Barat-Kristen lagi pendengki dan para musuh Islam lainnya: “Poligami Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sebagaimana yang mereka nyatakan. ‘Poligami ini tidak lain hanyalah rahmat dari Allah, dan poligami Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu usaha dakwah.”
Kita katakan kepada mereka, sebagai penolakan atas anggapan bahwa poligami Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena kesenangannya pada syahwat saja:
1. Seandainya beliau menyukai keinginan syahwat sebagaimana yang mereka katakan, niscaya Allah tidak mengharamkan beliau untuk menceraikan di antara mereka atau menikah lagi.
2. Jika hal itu untuk kecenderungan dan kesenangan, mengapa beliau tidak menikah dengan selain Khadijah sebelum Islam? Kenyataannya, beliau menghabiskan masa mudanya bersama Khadijah. Beliau berumah tangga bersama Khadijah Radhiyallahu anhuma selama 25 tahun.
Al-Qurthubi berkata, “Seandainya yang dituju dari pernikahan beliau adalah syahwat, kenikamatan atau bersenang-senang dengan wanita, niscaya beliau menikah dengan wanita-wanita muda atau menikah dengan gadis-gadis remaja. Dan inilah yang dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang Sahabatnya, “Apakah engkau sudah menikah?” Ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya, “Dengan gadis atau janda?” Ia menjawab, “Bahkan dengan janda.” Beliau bersabda, “Mengapa tidak dengan gadis, sehingga engkau dapat bermain-main dengannya dan dia bermain-main denganmu?”[3]
3. Semua yang dinikahi oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan gadis, kecuali ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
4. Kebanyakan dari mereka adalah para wanita yang menghibahkan diri mereka, karena mereka tidak mempunyai siapa-siapa yang dapat menolongnya. Lalu mereka mempunyai suami yang setia, ikhlas dan penyayang.
5. Dakwah menuntut kekuatan dan bantuan dari orang-orang yang mempunyai kedudukan di tengah kaumnya, terutama dalam kabilah-kabilah Arab. Dengan hikmah inilah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat hubungan dengan kaum Quraisy, sebagian kabilah Arab dan suku Yahudi, agar dakwah tersebut berdampak luas dalam menjinakkan hati untuk masuk ke dalam Islam.
6. Poligami Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga 11 isteri bukan bertujuan untuk kesenangan syahwat atau nafsu, tetapi hanyalah bertujuan untuk menyatukan hati di atas Islam. Terbukti, sebagian kabilah Arab yang menentang dapat dikalahkan dengan cara demikian.
Seorang pemikir mengatakan : “Sebagian perkawinan beliau merupakan amal kebajikan dan kasih sayang kepada janda-janda fakir yang ditinggal oleh suami mereka yang notabene adalah para pengikut dan kawan beliau. Sebagiannya adalah pernikahan strategis, seperti pernikahan beliau dengan Hafshah binti ‘Umar yang dimaksudkan untuk mengukuhkan hubungan beliau dengan ayahnya, dan seperti pernikahan beliau dengan puteri Abu Sufyan untuk memperoleh persahabatan dari musuh lamanya. Mungkin juga motivasi sebagian pernikahannya adalah harapannya untuk mem-peroleh anak.[4]
7. Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya bagaimana memperlakukan wanita. Beliau mengajarkan kepada mereka, baik ucapan maupun perbuatan, sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِيْ.
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik kepada keluarganya, dan aku adalah sebaik-baik orang di antara kalian kepada keluargaku.”[5]
8. Rumah-rumah isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lain merupakan pusat ilmu dan pendidikan bagi orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Rumah-rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa terbuka untuk orang-orang yang bertanya, baik laki-laki maupun perempuan.
Inilah nama-nama isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
1. Khadijah binti Khuwailid.
2. Saudah binti Zam’ah.
3. ‘Aisyah binti Abi Bakar.
4. Hafshah binti ‘Umar bin al-Khaththab.
5. Zainab binti Khuzaimah (Ummul Masakin).
6. Hindun binti Abu Umayyah.
7. Zainab binti Jahsy al-Asadiyyah.
8. Juwairiyah binti al-Harits al-Khuza’iyyah.
9. Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab.
10. Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan.
11. Maimunah binti al-Harits.
Semasa hidup beliau, Khadijah binti Khuwailid dan Zainab binti Khuzaimah Radhiyallahu anhuma meninggal dunia.
Pembahasan Kelima:
FATWA-FATWA PENTING TENTANG POLIGAMI.
Yang mulia Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ditanya: “Apakah nikah itu pada asalnya dengan poligami atau monogami?”
Jawaban: Dasar mengenai hal itu ialah disyari’atkannya poligami bagi siapa yang mampu melakukannya dan tidak khawatir berbuat zhalim. Karena poligami mengandung banyak kemaslahatan, yaitu memelihara kemaluannya, memelihara kehormatan para wanita yang dinikahinya, berbuat baik kepada mereka, memperbanyak keturunan yang dengannya umat menjadi banyak, dan banyak pula manusia yang mengabdi kepada Allah semata. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [ An-Nisaa’/4: 3].
Dan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah lebih dari seorang wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” [Al-Ahzaab/: 21].
Tatkala para Sahabat mengatakan, “Adapun aku, maka aku tidak akan makan daging.” Yang lain mengatakan, “Adapun aku, maka aku akan shalat dan tidak tidur.” Yang lainnya mengatakan, “Adapun aku, maka aku akan berpuasa dan tidak berbuka.” Yang lainnya lagi mengatakan, “Adapun aku, maka aku tidak akan menikahi wanita.” Maka ketika hal itu sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkhutbah kepada para Sahabat. Beliau memuji Allah dan menyanjungnya, kemudian mengatakan, “Telah sampai kepadaku demikian dan demikian. Tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, makan daging, dan menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci Sunnahku, maka dia bukan golonganku.” Lafazh agung dari beliau ini mencakup monogami dan poligami. Wallaahu Waliyyut taufiiq.[6]
Yang mulia Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin –حفظه الله– ditanya: “Jika suamiku ingin menikah dengan wanita lain dan dia mengabarkan hal itu kepadaku, tetapi aku menolaknya. Alasan penolakanku, bahwa dia tidak berhajat kepada isteri tersebut, karena aku telah melahirkan beberapa anak untuknya dan melaksanakan segala hak-haknya. Namun dia tetap menikah, maka aku katakan kepadanya, ‘Kalau begitu, ceraikan aku!’ Apakah aku berada di atas kebenaran? Berilah aku fatwa mengenai hal ini!”
Jawaban: Anda tidak berhak menolaknya, meskipun telah berbuat yang terbaik untuknya. Mungkin dia menginginkan banyak anak, memelihara kesucian wanita, atau dia melihat bahwa satu isteri tidak dapat memelihara dirinya. Namun yang pasti, isterinya tidak berhak melarangnya untuk menikah dengan selainnya. Tetapi jika ia khawatir suaminya akan menzhaliminya dan tidak mampu bertahan hidup dengan penganiayaan ini, maka ia boleh meminta cerai untuk suatu hajat, dan dia tidak boleh meminta cerai untuk selain keperluan yang mendesak.
Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin –حفظه الله– ditanya: “Aku mempunyai dua isteri. Isteri yang pertama aku nikahi, dan dia bersamaku selama dua tahun. Yang kedua, dia bersamaku selama setahun. Ketika aku menikahi isteri yang pertama, aku membelikan untuknya segala permintaannya berupa emas. Yakni, aku menyerahkan sejumlah uang lalu keluarganya membawakan untuknya sesuai permintaannya. Kedua, setelah itu aku membawa untuknya emas yang dimintanya, yaitu kalung, liontin dan cincin. Ketika aku membawa emas untuk-nya, maka sempurnalah pesta pernikahan ini. Lalu aku mengambil hati isteriku yang pertama supaya senang terhadap apa yang mereka katakan, yaitu emas. Sementara isteriku yang terakhir mengatakan, ‘Kalung ini kecil. Juallah, dan bawakan untukku yang lebih besar darinya.’ Aku pun mengambil dan menjualnya, tetapi belum membelikan sesuatu untuknya hingga sekarang. Apakah aku harus, -ketika aku membelinya- untuk membelikan kalung untuk isteriku yang pertama ataukah tidak? Mengingat -pada mulanya-, bahwa isteriku yang kedua tidak memintanya dariku, tapi aku membelikan untuknya akan permintaannya yang pertama ketika menikah. Apakah aku harus membelikan untuknya kalung ini seperti yang dimiliki isteriku yang terakhir ataukah tidak? Mengingat bahwa kalung ini adalah hak isteri yang terakhir dan aku telah menjual-nya darinya. Lagi pula aku tidak memiliki uang, tetapi aku ingin mencari pinjaman. Oleh karenanya, beritahukanlah kepada kami -semoga Allah membalas kalian dengan kebaikan- mengenai berlaku adil di antara kedua isteri. Apakah dia mempunyai hak seperti yang aku berikan kepada isteriku akan kalung ini ataukah tidak? Demikianlah, semoga Allah memberi taufiq kepada Anda sekalian kepada perkara yang berisi kebaikan dan kesejahteraan.”
Jawaban: Karena pernikahan telah sempurna dari kedua isteri itu dan Anda telah memberikan kepada masing-masing dari keduanya apa yang dimintanya ketika itu serta telah puas, maka Anda tidak berkewajiban membelikan untuk keduanya di lain waktu. Kecuali kalung yang Anda jual yang dimiliki oleh isteri yang kedua, maka Anda harus menggantikannya. Tidak boleh menjual emas dengan dirham yang cacat, bahkan harus ada kesepakatan sebelum berpisah, kecuali jika Anda membeli emas dengan selain dirham. Setelah itu Anda wajib berbuat adil dan seimbang di antara kedua isteri dalam hal nafkah sesuai kebutuhan. Demikian pula berkenaan dengan jatah di antara keduanya, baik bermalam maupun selainnya. Wallaahu a’lam.[7]
Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah ditanya: “Apa hukum masuk ke rumah isteri kedua pada malam giliran yang lainnya (untuk bercampur)?”
Jawaban: Adapun diharamkannya masuk ke rumah selain isteri yang menjadi gilirannya pada suatu malam, kecuali karena darurat pada malam hari itu, atau karena kebutuhan pada siang hari, maka yang benar mengenai hal ini adalah kembali kepada kebiasaan waktu dan kebiasaan manusia. Jika suami memasuki rumah isteri yang bukan gilirannya pada malam hari atau siang hari dan oleh kebanyakan orang tidak dianggap sebagai kezhaliman (maka tidak mengapa), karena mengembalikan (permasalahan). Kembali kepada kebiasaan adalah prinsip besar dalam banyak perkara, terutama dalam masalah-masalah yang tidak ada dalilnya. Dan ini termasuk ke dalam bab ini.[8]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir – Bogor]
_______
Footnote
[1]. Al-Mar-atul Jadiidah (Qasim Amin).
[2]. Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat (hal. 35).
[3]. Telah disebutkan takhrijnya.
[4]. Dinukil dari Limaadzal Hujuum ‘alaa Ta’addud az-Zaujaat.
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Dinisbatkan oleh penulis Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 86) kepada al-Fataawaa al-Ijtimaa’iyyah.
[7]. Dinisbatkan oleh penulis Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 88, 89) kepada Fataawaa al-Kanzits Tsamiin.
[8]. Dinisbatkan oleh penulis Fataawaa al-‘Ulamaa’ fii ‘Isyratin Nisaa’ (hal. 90) kepada al-Fataawaa as-Sa’diyyah.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/763-hikmah-poligami-nabi-fatwa-fatwa-penting-tentang-poligami.html